Jumat, 28 Maret 2014

Secangkir Jawa



Sesungguhnya istilah ini sudah jadul. Sudah mengglobal sejak abad 17, merupakan sebutan orang-orang Eropa buat kopi Indonesia (waktu itu kopi pertama dibawa Belanda dari Malabar ke Batavia, tepatnya ke Pondok Kopi, Jatinegara Timur) saking enaknya.

Secangkir Jawa mencuat ke benak ini, dalam rangka Food For Thought,  Indonesia MDG Awards 2013 Youth Forum 15 Maret lalu di Ballroom Djakarta Theater, Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat.
Masihkan wajah kopi kita secangkir jawa? Yang pasti kopi dari Jawa memang salah satu kopi Indonesia. Namun, ada juga kopi Flores, kopi Kintamani Bali, kopi Gayo Aceh, kopi Lintong, dan kopi Sidikalang Sumatera Utara. Dengan kata lain, keragaman adalah wajah Indonesia.
Tak salah dong kalau kopi merupakan identitas Indonesia? Identitas Indonesia itu bukan kopi tapi kopi luwak. Kopi luwak (bukan saja karena pakai kata luwak yang artinya musang) itupertama kali ditemukan oleh pekerja perkebunan (orang Indonesia) di perkebunan kopi Belanda di tanah Indonesia.
Saking mahalnya harga secangkir kopi (akibat konstruksi sosial bangsa Eropa, salah satu pelakunya: Raja Frederick Agung dari Rusia) orang miskin gak mampulah beli wong daya belinya gak nyampe. Para pekerja perkebunan tentu saja tergoda mencicipinya, nah tak sengaja mereka menemukan kotoran musang berupa biji kopi utuh. Inilah cikal bakal kopi luwak yang kesohor itu, yang bahkan menginspirasi Rob Reiner membuat The Bucket List, film yang dibintangi Jack Nicolshon dan Morgan Freeman aktor gaek Hollywood.
Dunia memang mengakui kopi dari Indonesia punya kualitas jempolan (penghasil kopi ke tiga di dunia) setelah disalip oleh Vietnam (menduduki peringkat kedua). Tapi apakah kebanyakan rakyat Indonesia juga tahu bahwa kopi mereka paling enak di dunia? Bisa jadi lebih beruntung pekerja perkebunan kopi di abad 17 itu, sekarang kopi luwak yang diminum kebanyakan rakyat adalah kopi luwak instan seharga Rp.1000 – Rp. 1500, udah gitu tidak ada SNI pula. Sementara kopi luwak kualitas bagus, harganya secangkir di atas Rp.100.000. Sementara itu, di Jawa Barat menurut AEKI (Asosiaso Eksportir Kopi Indonesia) masih ada pemilik kebun kobi di Indonesia yang penghasilannya dibawah UMR perbulan.
Lagi-lagi Indonesia memberi asupan pangan kualitas buruk buat rakyatnya. Secangkir Jawa rasanya jauh panggang dari api.  Haruskan selalu begini, setelah sekolah di luar negeri atau pas punya kesempatan pergi ke negeri orang baru tahu ada kopi enak selain kopi instan seribu perakan? Di Vietnam saja di kedai-kedai kopi di pasar dijual kopi buatan dalam negeri yang digoreng dan ditumbuk sendiri dalam grade (tingkatan kualitas), jadi rakyatnya bisa punya pengetahuan dan pengalaman minum kopi enak dan tidak enak.
Bukankah seharusnya kopi bisa diakses oleh semua rakyat? Daya beli masyarakat yang rendah rasanya tidak layak terus menerus dijadikan jawaban. Lalu, apa artinya ada perubahan penggunaan istilah ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan dalam undang-undang pangan no 18 tahun 2012? Rasanya belum pantas Negara dan pemerintah Indonesia bangga dan bertepuk dada akan posisi Indonesia sebagai penghasil kopi ketiga di dunia. Vietnam yang baru merdeka 1975 sudah bisa menyalip Indonesia yang punya luas kebun kopinya tak sebanding Vietnam sejak abad 17. 

Sitta Manurung