Minggu, 28 September 2014

KEMARAU PUN TIBA






Dua puluh hari sudah September hadir. Siang di hari ke 21, terasa terik nian. Bukankah seharusnya musim penghujan? Musim sudah tak berarturan hadir, pertanda apa ini?



Di rumah, arisan pula. Menunya sih sudah pasti go local, hidangan khas suku batak dengan buah pepaya dan salak sebagai  pencuci mulut, usai makan enak. Hadir pula ubi cilembu, kacang kulit, dan biskuit salah satu produk lokal menjadi kawan minum kopi dan teh dari hasil perkebunan bumi pertiwi. Senang memang, apalagi saat peserta arisan yang juga saudara sekampung halaman, berkomentar, sedap nian makan siang hari itu.


Jadi menoleh ke belakang sebentar, kejadian tadi pagi sebelum arisan di mulai. Sempat pergi ke salah satu pasar swalayan besar untuk mencari angin. Angin yang saya maksud, bukan untuk santai sejenak, tapi membeli kipas angin satu lagi! Apa pasal? Panas nian udara pekan itu.


Bukankah ini bulan September dan sebentar lagi Oktober? Masih kuat ingat saya, bahwaseharusnya bulan-bulan yang yang sebut tadi itu musim penghujan, tapi ya kok BMG justru bilang, bulan Oktober puncaknya musim kemarau di Indonesia.  


Kebakaran hutan pun terjadi, kualitas udara Riau, Jambi, Palembang, Palangkaraya, memburuk karena dipenuhi kabut asap. Pencemaran udara menyelimuti sehingga  jadwal penerbangan pun terganggu. ISPA berjangkit, aktifitas sekolah terganggu demikian pula dengan aktifitas kepala keluarga mencari nafkah. Petani paling jelas merasakan akibatnya. Tanah pertanian retak-retak, tanda panas bumi tak tertahankan.


Akibat Kemarau, Petani Bangkalan Berhenti Bertani, Bondowoso Darurat Kekeringan, demikian beberapa judul berita di Koran Tempo, Kamis 18 September 2014.Di Bima, Nusa Tenggara Barat, warga antri air berjam-jam.

Jadi, ini musim kemarau toh?


Musim sudah tak beraturan hadir, pertanda apa ini?


Mustika Rasa, Buka Masakan Indonesia terbitan tahun 1967, mencatat bahwa bulan September – Oktober itu musim buah Srikaya, September – Desember juga musim cempedak, mangga bacang dan mangga. Nah, saat arisan buah salak memang hadir, ini masih sesuai dengan musimnya. Menurut Mustika Rasa, musim salak itu bulan Agustus- September. Sementara, jambu air juga ada di tukang rujak, karena bulannya sama dengan salak. Demikian pula dengan mangga, yang hadir di bulan September sampai Nopember.


Musim sudah tak beraturan hadir, pertanda apa ?


Yuk! Makan secukupnya hasil bumi pertiwi…



Sitta Manurung

Senin, 01 September 2014

Kerupuk#Merdeka



Kerupuk #Merdeka


Lomba makan kerupuk ini memang popular dan selalu saja hadir dalam salah satu lomba menyambut kemerdekaan Indonesia.


Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, saat perayaan agustusan lalu ikut lomba makan kerupuk. Tawa ibu Walikota yang renyah ini, tanpa malu-malu melebarkan mulut untuk meraih sekaligus mengunyah kerupuk putih yang digantung dengan seutas tali. Sungguh pemandangan yang membawa kesegaran perayaan hari merdeka Indonesia kemarin.  Pemimpin dan rakyatnya berbaur satu syukur atas merdekannya negeri dari penjajah.

Lomba makan kerupuk memang popular dan selalu saja hadir dalam salah satu lomba menyambut kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kerupuk akan digantung dengan tali secara berjajar pada sebuah tali panjang sesuai jumlah peserta lomba. Para peserta akan berlomba untuk memakan kerupuk masing-masing, dan pemenangnya adalah peserta yang paling cepat memakan habis kerupuknya. Tantangannya, peserta tidak diperbolehkan menggunakan tangan - dalam memakan kerupuk, hanya boleh menggunakan mulutnya. Seru!

Sebetulnya,  sejak kapan sih lomba yang sudah merakyat ini hadir dalam perayaan 17 Agustusan? Sejarahwan JJ Rizal, pernah mengatakan bahwas tradisi lomba yang kerap menghiasi perayaan HUT Kemerdekaan RI itu muncul pada tahun 1950-an, “ Masyarakat sendiri yang memunculkan lomba-lomba itu sejak perayaan HUT  Kemerdekaan RI yang ke-5. Sebelumnya tidak ada lomba,” ujarnya.
Di Belanda sendiri, memang ada permainan koekhappen. Koekhappen berasal dari kata koek berarti ‘kue’ dan happen berarti ‘menggigit’ (take a bite). Lomba untuk anak-anak menggigit kue yang digantungkan pada seutas tali. Siapa yang pertama berhasil menggigit dan menghabiskan kue akan jadi pemenangnya. Setelah kita merdeka, bisa jadi lomba ini jadi inspirasi, dengan menggantikan kue dengan kerupuk.
Memang sih Indonesia punya 1001 warna dan rupa kerupuk, tidak perlu impor juga. Coba saja mampir ke Sidoarjo, kamu akan jumpa sederetan penjual ragam kerupuk di sana. Makanan pelengkap ini juga dekat di hati kita bukan? Saya jadi teringat seorang teman, yang punya tradisi makan pakai kerupuk. Jangan harapkan dia akan makan nasi dan lauk pauknya tanpa bunyi renyah kriuk..kriuk..kerupuk. Kerupuk memang makanan orang Indonesia, tak peduli kaya atau miskin pasti kebanyakan suka makan bahan kriuk-kriuk ini.

Kalau Gus Mus lewat twitannya  https://twitter.com/gusmusgusmu menuliskan begini:
rasanya baru kemarin
sudah enampuluhsembilan tahun ternyata
dirgahayu indonesia!
belum saatnyakah kita
benar-benar merdeka?

Rasanya untuk kerupuk pertanyaan Gus Mus sudah terjawab, dan pantaslah kalau dia dapat kemeriahaan dan tepuk meriah di hari kemerdekaan negeri tak bertelinga ini (judul film terbaru Lola Amaria). Tidak seperti beras yang makanan pokok anak negeri, boro-boro merdeka malah negeri ini menggantungkan diri pada impor. Belum saatnyakah kita benar-benar merdeka?


Sitta Manurung
Mohon maaf, seharusnya publikasi 28 Agustus lalu, benar lupa benar.