Senin, 27 April 2015

Pembodohan Lewat Kopi Ateng Alias Kopi Si Garar Hutang


Pertemuan saya dengan seorang ilmuwan pangan dari salah satu universitas kesohor di Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, membuat sata tercenung lama.. 


Sampai karya ini saya torehkan di sini, saya masih tak habis pikir atas pemahaman beliau atas kopi Ateng alias kopi si Garar Hutang. Bagaimana tidak, beliau masih percaya bahwa kopi tersebut tidak dapat diminum dan hanya diperuntukkan untuk membuat bubuk mesiu!
Pemahaman beliau sama persis dengan pemahaman penduduk sebuah dusun miskin di di daerah pegunungan di Tobasa, tepatnya di dusun Motung. Ada kurang lebih 200 KK yang memiliki perkebunan kopi yang rata-rata luasnya tidak melebihi 50 hektar per keluarga, dan mereka percaya dan paham bahwa kopi Ateng yang mereka tanam adalah kopi yang tidak dapat diminum dan hanya diperuntukkan untuk bubuk mesiu.
Tak heran, kalau di kedai-kedai kopi di sana justru yang tersedia adalah kopi luwak sachet seribu rupiah. Ini fakta lain lagi, bagaimana rakyat teraleniasi dari hasil tanahnya sendiri. Lagi-lagi ini membuktikan, penduduk Indonesia itu sudah terlatih dicekoki produk-produk tak bermutu dari tanahnya sendiri. Sementara, hasil tanah terbaik itu milik orang berduit dan Negara asing.
Belum habis rasa penasaran saya soal kopi Ateng ini, saya pun membawa contoh biji kopi yang sudah mereka proses ke Ibu Kota, Jakarta. Di sini seorang kawan yang ahli kopi dengan sertifikat terpercaya, terbengong-bengong dengan cerita yang saya tuturkan tentang kopi Ateng di dusun itu. Lebih terkejut lagi, setelah melihat biji kopi yang saya bawa dari sana. Biji kopi yang belum layak diperjualbelikan justru sudah diperdagangkan. Pembelinya? Tentu saja tengkulang yang hanya focus pada semata keuntungan, pokoknya keruk keuntungan sebesar-besarnya! Soal pemberdayaan masyarakat jauh panggang dari api.
Pembodohan terjadi sudah! Masyarakat di sana, tak paham benar bahwa kopi yang selama ini mendatangkan pendapatan yang mampu membayar hutang kehidupan mereka sehari-hari ternyata biji kopi yang bukan biji kopi layak diolah. Biji kopinya masih lembab, biji kopinya ada luka di sana-sini, dipetik tidak saat warna kulitnya merah tua, kuning-kuning sudah dipetik, pikir mereka mungkin seperti pisang bisa diperam agar masak. Itu beberapa hal mendasar tentang biji kopi yang justru mereka tidak paham. Dan ketidakpahaman ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Buktinya, rekan ilmuwan yang saya tuturkan di awal yang usianya sudah 50 tahun lebih itu!
Siapa lagi peduli bahwa pembodohan kopi telah terjadi di sepanjang Tobasa? Boro-boro Negara, Pemerintah setempat saja perlu dipertanyakan kehadirannya di tengah-tengah rakyatnya. Bagaimana tidak, jika tengkulak tetap hadir ke dusun-dusun memboyong biji kopi rakyat untuk dijual ke produsen kopi besar? Padahal biji kopi yang dibeli itu pun tak layak jual! Tidak hanya itu, paham bahwa kopi Ateng alias kopi si Garar hutang tak bisa diminum hanya diperuntukkan membuat bubuk mesiu masih bercokol di benak rakyat sampai abad 21 ini!
Kalau sudah begini, apakah masih ada harapan? Saya selalu percaya harapan tidak pernah sirna cahayanya selama saya percaya ada TUHAN, Pencipta Alam Semesta dan Manusia. He is a Creator! BELIAU pun sedang merekayasa suatu karya benar lewat pertemuan saya dengan penduduk dusun Motung dan membawa  tidak sampai 500 gram kopi Ateng yang saat ini sudah ada di tangan ahlinya.
Harapan ini makin membumcah, dengan fakta-fakta yang saya baca dan temukan tentang kopi si Garar Hutang ini. Gosipnya, Starbuck juga pakai kopi ini untuk produknya. Belum lagi ada orang-orang yang masih peduli pada pemberdayaan masyarakat kopi di Tobasa meski masih bisa di hitung dengan jari jumlahnya. Namun satu yang pasti, Just Do It, and Let God Do The Rest…

Sitta Manurung