Rabu, 28 Mei 2014


Secukupnya

Menuliskan ini tidak berarti saya sudah jadi pelaku wahid: Secukupnya! Justru, masih sedang berjalan bersamanya dan terus berdialog dengan secukupnya. Pertanyaan pertama padanya, “apa ukurannya kalau saya sudah melakukan secukupnya?” Formulanya diri sendiri.

Trus kalau diri sendiri, apa batasannya? Lama juga menemukan jawabannya. Contoh sederhana, seperti keperluan garam atau merica. “Secukupnya,” sambungnya. “Betul..betul,” batin saya. Namun, kapan saya tahu itu sudah cukup?

Tubuh. Begitu bisiknya. Ehm..saya jadi teringat, soal slogan 4 sehat 5 sempurna yang sudah direvisi pemerintah menjadi kebutuhan gizi seimbang perindividu, bukan sempurna karena sudah minum susu.

Individu. Wah, kalau sudah begini tidak ada lanjutan lain, selain berhubungan dengan Pencipta, The Creator. Tiap-tiap orang dicipta secara tailormade, tidak massproduct bukan?! Kalau begitu, saya perlu mendengar  (listening bukan hearing) The Creator agar mampu mendengar (listening bukan hearing) tubuh yang adalah saya sendiri.

Kalau sudah begini, fast food tidak akan membawa saya pada tahap ini, judulnya saja fast (cepat), pinsip dan nilainya: Cepat! Padahal untuk listening perlu tenang untuk dapat paham.

Kalau balik ke kebutuhan garam dan merica di atas, saya tidak normal. Soalnya, ketika makan ramai-ramai selalu saja saya menemukan diri ini keasinan sangat, saat yang lain tidak. Kebutuhan garam saya tidak serupa rupanya. Lalu apa perlu saya berpura-pura tidak keasinan, saat semua tidak keasinan?

Menjurus arus memang satu kunci untuk mempraktekan: Secukupnya. Kalau tidak, bisa saja sih melatih diri agar sama dengan arus yang ada. Namun, siap-siap untuk lupa diri. Soalnya, diri yang sebenarnya, oleh Pencipta sudah dicipta kediriannya yang tahu mengukur kecukupan kebutuhan dirinya.

Garam dan merica cuma satu dari banyak kebutuhan secukup lainnya yang perlu di dengar agar tidak salah ukuran saat memenuhinya. Taruhannya hidup! 

Dan, hidup itu sesungguhnya milik Sang Pencipta, jadi diri ini seharusnya hanya melakukan kehendak Pencipta agar diri menuju kesempurnaan bentuk dan sehat sesuai kehendak pemiliknya, yaitu Sang Pencipta. Jadi, kalau pun sakit atau jatuh sakit, kegendutan atau kekurusan, miskin atau kaya, pintar atau tidak, kerja dan santai, semua terjadi bukan karena kitaa melanggar ukuran secukupnya kita.

Secukupnya sedang menjurus arus, hukum menindas pun menemui ajalnya!

 

Sitta Manurung