Secukupnya
Menuliskan ini tidak berarti saya sudah jadi pelaku wahid:
Secukupnya! Justru, masih sedang berjalan bersamanya dan terus berdialog dengan
secukupnya. Pertanyaan pertama
padanya, “apa ukurannya kalau saya sudah melakukan secukupnya?” Formulanya diri
sendiri.
Trus kalau diri sendiri, apa batasannya? Lama juga menemukan
jawabannya. Contoh sederhana, seperti keperluan garam atau merica.
“Secukupnya,” sambungnya. “Betul..betul,” batin saya. Namun, kapan saya tahu
itu sudah cukup?
Tubuh. Begitu bisiknya. Ehm..saya jadi teringat, soal slogan
4 sehat 5 sempurna yang sudah direvisi pemerintah menjadi kebutuhan gizi seimbang
perindividu, bukan sempurna karena sudah minum susu.
Individu. Wah, kalau sudah begini tidak ada lanjutan lain,
selain berhubungan dengan Pencipta, The Creator. Tiap-tiap orang dicipta secara
tailormade, tidak massproduct bukan?! Kalau begitu, saya perlu mendengar (listening bukan hearing) The Creator agar
mampu mendengar (listening bukan hearing) tubuh yang adalah saya sendiri.
Kalau sudah begini,
fast food tidak akan membawa saya pada tahap ini, judulnya saja fast (cepat),
pinsip dan nilainya: Cepat! Padahal untuk listening perlu tenang untuk dapat
paham.
Kalau balik ke kebutuhan garam dan merica di atas, saya
tidak normal. Soalnya, ketika makan ramai-ramai selalu saja saya menemukan diri
ini keasinan sangat, saat yang lain tidak. Kebutuhan garam saya tidak serupa
rupanya. Lalu apa perlu saya berpura-pura tidak keasinan, saat semua tidak
keasinan?
Menjurus arus memang
satu kunci untuk mempraktekan: Secukupnya. Kalau tidak, bisa saja sih melatih diri agar sama dengan arus
yang ada. Namun, siap-siap untuk lupa diri. Soalnya, diri yang sebenarnya, oleh
Pencipta sudah dicipta kediriannya yang tahu mengukur kecukupan kebutuhan
dirinya.
Garam dan merica cuma
satu dari banyak kebutuhan secukup lainnya yang perlu di dengar agar tidak
salah ukuran saat memenuhinya. Taruhannya hidup!
Dan, hidup itu sesungguhnya milik Sang Pencipta, jadi diri
ini seharusnya hanya melakukan kehendak Pencipta agar diri menuju kesempurnaan
bentuk dan sehat sesuai kehendak pemiliknya, yaitu Sang Pencipta. Jadi, kalau
pun sakit atau jatuh sakit, kegendutan atau kekurusan, miskin atau kaya, pintar
atau tidak, kerja dan santai, semua terjadi bukan karena kitaa melanggar ukuran
secukupnya kita.
Secukupnya sedang menjurus arus, hukum menindas pun menemui
ajalnya!
Sitta Manurung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar