Pertemuan saya dengan seorang ilmuwan pangan dari salah satu universitas kesohor di Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, membuat sata tercenung lama..
Sampai karya ini saya torehkan di sini, saya masih
tak habis pikir atas pemahaman beliau atas kopi Ateng alias kopi si Garar
Hutang. Bagaimana tidak, beliau masih percaya bahwa kopi tersebut tidak dapat
diminum dan hanya diperuntukkan untuk membuat bubuk mesiu!
Pemahaman beliau sama persis dengan
pemahaman penduduk sebuah dusun miskin di di daerah pegunungan di Tobasa,
tepatnya di dusun Motung. Ada kurang lebih 200 KK yang memiliki perkebunan kopi
yang rata-rata luasnya tidak melebihi 50 hektar per keluarga, dan mereka
percaya dan paham bahwa kopi Ateng yang mereka tanam adalah kopi yang tidak
dapat diminum dan hanya diperuntukkan untuk bubuk mesiu.
Tak heran, kalau di kedai-kedai kopi
di sana justru yang tersedia adalah kopi luwak sachet seribu rupiah. Ini fakta
lain lagi, bagaimana rakyat teraleniasi dari hasil tanahnya sendiri. Lagi-lagi
ini membuktikan, penduduk Indonesia itu sudah terlatih dicekoki produk-produk tak
bermutu dari tanahnya sendiri. Sementara, hasil tanah terbaik itu milik orang
berduit dan Negara asing.
Belum habis rasa penasaran saya soal
kopi Ateng ini, saya pun membawa contoh biji kopi yang sudah mereka proses ke
Ibu Kota, Jakarta. Di sini seorang kawan yang ahli kopi dengan sertifikat
terpercaya, terbengong-bengong dengan cerita yang saya tuturkan tentang kopi
Ateng di dusun itu. Lebih terkejut lagi, setelah melihat biji kopi yang saya
bawa dari sana. Biji kopi yang belum layak diperjualbelikan justru sudah
diperdagangkan. Pembelinya? Tentu saja tengkulang yang hanya focus pada semata keuntungan,
pokoknya keruk keuntungan sebesar-besarnya! Soal pemberdayaan masyarakat jauh
panggang dari api.
Pembodohan terjadi sudah! Masyarakat
di sana, tak paham benar bahwa kopi yang selama ini mendatangkan pendapatan
yang mampu membayar hutang kehidupan mereka sehari-hari ternyata biji kopi yang
bukan biji kopi layak diolah. Biji kopinya masih lembab, biji kopinya ada luka
di sana-sini, dipetik tidak saat warna kulitnya merah tua, kuning-kuning sudah
dipetik, pikir mereka mungkin seperti pisang bisa diperam agar masak. Itu
beberapa hal mendasar tentang biji kopi yang justru mereka tidak paham. Dan
ketidakpahaman ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Buktinya, rekan
ilmuwan yang saya tuturkan di awal yang usianya sudah 50 tahun lebih itu!
Siapa lagi peduli bahwa pembodohan
kopi telah terjadi di sepanjang Tobasa? Boro-boro Negara, Pemerintah setempat
saja perlu dipertanyakan kehadirannya di tengah-tengah rakyatnya. Bagaimana
tidak, jika tengkulak tetap hadir ke dusun-dusun memboyong biji kopi rakyat
untuk dijual ke produsen kopi besar? Padahal biji kopi yang dibeli itu pun tak
layak jual! Tidak hanya itu, paham bahwa kopi Ateng alias kopi si Garar hutang
tak bisa diminum hanya diperuntukkan membuat bubuk mesiu masih bercokol di
benak rakyat sampai abad 21 ini!
Kalau sudah begini, apakah masih ada harapan?
Saya selalu percaya harapan tidak pernah sirna cahayanya selama saya percaya
ada TUHAN, Pencipta Alam Semesta dan Manusia. He is a Creator! BELIAU pun sedang merekayasa suatu karya benar lewat
pertemuan saya dengan penduduk dusun Motung dan membawa tidak sampai 500 gram kopi Ateng yang saat ini
sudah ada di tangan ahlinya.
Harapan ini makin membumcah, dengan
fakta-fakta yang saya baca dan temukan tentang kopi si Garar Hutang ini.
Gosipnya, Starbuck juga pakai kopi ini untuk produknya. Belum lagi ada
orang-orang yang masih peduli pada pemberdayaan masyarakat kopi di Tobasa meski
masih bisa di hitung dengan jari jumlahnya. Namun satu yang pasti, Just Do It, and Let God Do The Rest…
Sitta Manurung