Kamis, 28 Mei 2015

LALAPAN ITU RAW FOOD 'KAH?


Ulik yuk! Raw food itu lalapan jugakah atau lalapan itu justru salah satu bentuk raw food?
Kamu suka lalapan? Coba googling deh lalapan, berapa jumlah temuan yang kamu dapat di laman mbah google itu? Per 7 Mei 2015 lalu saya temukan ada 485.000 temuan tentang lalapan. Gimana dengan raw food, sejumlah itu atau lebih? Penasaran juga, apalagi sekarang khususnya di Jakarta lagi hits banget ngomongin raw food. Jadi pengen tahu lebih jauh soal tren makan satu ini. Dan, klik!Mesin pencari google pun bekerja, hasilnya ada 229.000.000 temuan untuk raw food. Wah, ternyata lalapan kalah jauh! Bisa jadi karena lalapan hanya popular di lidah-lidah kita, orang, dan atau yang tinggal di Indonesia saja.
Apa sih raw food itu sesungguhnya? Apakah semua bahan pangan yang masuk kedalam perut kita harus dalam keadaan mentah? Di sini, saya coba kutip penjelasan istri penyanyi Pongki Barata, Sophie Nasvita yang sekarang dapat julukan chef raw food-nya Indonesia karena keseriusannya belajar raw food, sampai sekolah segala ke California.
“Makanan mentah disini adalah plant-based diet, yaitu makanan yang terdiri dari sayuran, buah, kacang-kacangan, dan biji-bijian mentah. Metode mengolahnya pun paling hanya sebatas memotong atau mem-blender.” (sumber majalah Ayah Bunda dan Kompas.com).
Oh ya, iseng-iseng, saya juga googling raw food Sophie Nasvita. Hasilnya? Ada 4.540.000  temuan (per 7 mei 2015). Jelas sudah, lalapan kalah popular dari Sophie Nasvita! Syukur, Sophie Nasvita menjurus arus ke karya gerakan Indonesia Makan Sayur. Menarik, ya.
Gerakan Indonesia Makan Sayur, cara Sophie menyadarkan kita-kita akan pentingnya sayur dan buah hadir dalam kesempatan makan sehari-hari. Salah satu yang digadang-gadang dalam gerakan ini,ya makan sayuran mentah (raw food), tanpa perlu dimasak.
Menurut Sophie,  proses masak itu justru bisa bikin ‘enzim hidup’ di dalam sayuran dan buah-buahan, mati. Karena itulah, sayur dan buah cukup dipotong, dicacah, diiris, atau blender saja.
Sesungguhnya, nenek moyang kita sudah ajarin itu lewat kebijakan lokal, makan lalapan. Lalapan itu tidak hanya di tanah sunda, tapi juga suku-suku lain di tanah air kita, Indonesia. Coba deh perhatiin ketika kamu wisata kuliner misalnya, akan jumpa juga dengan ragam lalapan, salah satunya juga termasuk aneka ragam acar sayuran.
Pesan moral yang saya peroleh, ayo dukung gerakan Indonesia Makan Sayur. Caranya? Makan sayur dan buah, jangan yang itu-itu saja jenisnya. Bukankah tanah air kita kaya dan subur akan buah-buahan dan sayuran? Makin cinta kita makan sayur dan buah-buahan lokal akan makin bikin pendapatan petani Indonesia lebih baik. Ehm.., makan itu sesungguhnya peduli sesama, peduli lingkungan, dan cinta tanah air.


Sudah terbit di: www.rasamasa.com


Senin, 27 April 2015

Pembodohan Lewat Kopi Ateng Alias Kopi Si Garar Hutang


Pertemuan saya dengan seorang ilmuwan pangan dari salah satu universitas kesohor di Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, membuat sata tercenung lama.. 


Sampai karya ini saya torehkan di sini, saya masih tak habis pikir atas pemahaman beliau atas kopi Ateng alias kopi si Garar Hutang. Bagaimana tidak, beliau masih percaya bahwa kopi tersebut tidak dapat diminum dan hanya diperuntukkan untuk membuat bubuk mesiu!
Pemahaman beliau sama persis dengan pemahaman penduduk sebuah dusun miskin di di daerah pegunungan di Tobasa, tepatnya di dusun Motung. Ada kurang lebih 200 KK yang memiliki perkebunan kopi yang rata-rata luasnya tidak melebihi 50 hektar per keluarga, dan mereka percaya dan paham bahwa kopi Ateng yang mereka tanam adalah kopi yang tidak dapat diminum dan hanya diperuntukkan untuk bubuk mesiu.
Tak heran, kalau di kedai-kedai kopi di sana justru yang tersedia adalah kopi luwak sachet seribu rupiah. Ini fakta lain lagi, bagaimana rakyat teraleniasi dari hasil tanahnya sendiri. Lagi-lagi ini membuktikan, penduduk Indonesia itu sudah terlatih dicekoki produk-produk tak bermutu dari tanahnya sendiri. Sementara, hasil tanah terbaik itu milik orang berduit dan Negara asing.
Belum habis rasa penasaran saya soal kopi Ateng ini, saya pun membawa contoh biji kopi yang sudah mereka proses ke Ibu Kota, Jakarta. Di sini seorang kawan yang ahli kopi dengan sertifikat terpercaya, terbengong-bengong dengan cerita yang saya tuturkan tentang kopi Ateng di dusun itu. Lebih terkejut lagi, setelah melihat biji kopi yang saya bawa dari sana. Biji kopi yang belum layak diperjualbelikan justru sudah diperdagangkan. Pembelinya? Tentu saja tengkulang yang hanya focus pada semata keuntungan, pokoknya keruk keuntungan sebesar-besarnya! Soal pemberdayaan masyarakat jauh panggang dari api.
Pembodohan terjadi sudah! Masyarakat di sana, tak paham benar bahwa kopi yang selama ini mendatangkan pendapatan yang mampu membayar hutang kehidupan mereka sehari-hari ternyata biji kopi yang bukan biji kopi layak diolah. Biji kopinya masih lembab, biji kopinya ada luka di sana-sini, dipetik tidak saat warna kulitnya merah tua, kuning-kuning sudah dipetik, pikir mereka mungkin seperti pisang bisa diperam agar masak. Itu beberapa hal mendasar tentang biji kopi yang justru mereka tidak paham. Dan ketidakpahaman ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Buktinya, rekan ilmuwan yang saya tuturkan di awal yang usianya sudah 50 tahun lebih itu!
Siapa lagi peduli bahwa pembodohan kopi telah terjadi di sepanjang Tobasa? Boro-boro Negara, Pemerintah setempat saja perlu dipertanyakan kehadirannya di tengah-tengah rakyatnya. Bagaimana tidak, jika tengkulak tetap hadir ke dusun-dusun memboyong biji kopi rakyat untuk dijual ke produsen kopi besar? Padahal biji kopi yang dibeli itu pun tak layak jual! Tidak hanya itu, paham bahwa kopi Ateng alias kopi si Garar hutang tak bisa diminum hanya diperuntukkan membuat bubuk mesiu masih bercokol di benak rakyat sampai abad 21 ini!
Kalau sudah begini, apakah masih ada harapan? Saya selalu percaya harapan tidak pernah sirna cahayanya selama saya percaya ada TUHAN, Pencipta Alam Semesta dan Manusia. He is a Creator! BELIAU pun sedang merekayasa suatu karya benar lewat pertemuan saya dengan penduduk dusun Motung dan membawa  tidak sampai 500 gram kopi Ateng yang saat ini sudah ada di tangan ahlinya.
Harapan ini makin membumcah, dengan fakta-fakta yang saya baca dan temukan tentang kopi si Garar Hutang ini. Gosipnya, Starbuck juga pakai kopi ini untuk produknya. Belum lagi ada orang-orang yang masih peduli pada pemberdayaan masyarakat kopi di Tobasa meski masih bisa di hitung dengan jari jumlahnya. Namun satu yang pasti, Just Do It, and Let God Do The Rest…

Sitta Manurung

Jumat, 06 Februari 2015

Sehat Itu (Harusnya) Murah

Seharusnya memang sehat itu murah. Bukankah soal sehat tidaknya Anda dimulai dari apa dan bagaimana gaya hidup Anda sehari-hari?


Suatu sore, pada hari Minggu bulan Oktober lalu, saya mendapat undangan dari sebuah gereja dekat rumah, perihal: Menghadiri pertemuan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Mantap! PHBS masuk ke gereja. 


Apa sih PHBS?  PHBS itu, singkatan dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. PHBS memiliki 10 indikator nasional, yaitu: Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, Memberi bayi ASI Eksklusif, Menimbang balita setiap bulan, Menggunakan Air Bersih, Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Menggunakan jamban sehat, Memberantas jentik di rumah, Makan sayur dan buah setiap hari, Melakukan aktifitas fisik setiap hari, dan Tidak merokok di dalam rumah. Sudahkah Anda di posisi ini?

Saya jadi teringat situasi sekarang, wabah demam berdarah kembali menyerang! Tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Beberapa daerah di Indonesia saat ini juga sudah mengumumkan daerahnya bahaya demam berdarah (DBD) dengan status KLB (Kejadian Luar Biasa). Masuknya PHBS ke gereja, bisa menjadi langkah kecil yang menunjukkan gotong royong kesehatan. Tindakan preventif seyogyanya memang.


Pada kesempatan lain, saya punya pengalaman menarik, masih soal kesehatan. Hanya saja yang ini soal kartu BPJS. Apalagi sampai seumur ini saya tak pernah dibantu oleh negara soal kesehatan. Selalu saja, semua keluar dari kocek sendiri. Saya ingin merasakan nikmatnya menjadi warga negara Indonesia. Memang saya begitu antusias terhadap program negara yang satu ini. Saking antusiasnya, saya mewajibkan diri mendukung niat baik negara dan pemerintah ini, meski kepercayaan saya sebagai anak kandung Ibu Pertiwi seringkali tergores dan acapkali harus mengobati luka itu sendiri.


Kartu BPJS sudah ditangan, tapi ketika berangkat ke puskesmas, mengapa banyak tanya berkecamuk di kepala, “apakah obatnya akan paten?”,  “gimana ya nanti dokternya mendiagnosa?”, “gimana ya pelayanannya, masih uang kah magnitude-nya?” Langkah saya tak surut. Saya sudah memupuk kepercayaan ini, menyerah tentu pantang. Belajar percaya tentu lebih baik karena ada harapan di dalamnya. Pada akhirnya, saya pun masuk ke ruang praktek dokter berseragam cokelat-cokelat itu. Dengan percaya penuh saya serahkan diri di tangan dokter perempuan itu. Bukankah awal sebuah kesembuhan diawali dengan adanya percaya?


Pada akhirnya, fakta membuktikan, sakit saya sembuh. Sejak kejadian itu, saya makin keranjingan gunakan BPJS. Memang agak sedikit ribet sebagai pemula, lebih karena sudah terbiasa dengan kemudahan pelayanan kesehatan swasta. Perubahan perilaku itulah yang saya sebut sedikit ribet itu, tidak lebih. Misalnya, saya jadi paham untuk dating diperiksa ke puskesmas kecamatan agar sekaligus bisa memberi rujukan jika dibutuhkan. Mirip pelayanan asuransi kesehatan, hanya ini ditanggung negara. Perasaan bangga dan menjadi anak negeri bisa saya miliki berkat BPJS, sebelumnya tak pernah, sebelumnya kesehatan itu berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.


Bisa jadi, karena berdikari itu pula gaya hidup preventif saya lakoni dibandingkan gaya hidup kuratif. Memang mengutamakan upaya promotif-preventif dalam pembangunan kesehatan agar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS benar-benar diterapkan setiap waktu dan sepanjang hayat oleh seluruh masyarakat Indonesia. Meski BPJS di tangan, tidak berarti saya jadi suka-sukanya ke dokter, tetap saja hobi jalan kaki dilakoni. Bukankah dengan rutin jalan kaki kadar kolesterol bisa dikontrol?


 Sitta Manurung (Penulis)

x

Sabtu, 29 November 2014

RENUNGAN NOVEMBER




 

 

THE WINDS of FATE

 

One ship drives east and another drives west

With the selfsame winds that blow.

‘Tis the set of the sails,

And Not the gales,

That tell us the way to go.

Like the winds of the sea are the ways of fate;

As we voyage along through life,

‘Tis the set of a soul

That decides its goal,

And not the calm or the strife

 

 

Ella Wheeler Wilcox (5 November 1850 – 30 Oktober 1919)

Selasa, 28 Oktober 2014

Kerja, Kerja, Kerja!





Alkisah, Firaun pun segera menunjuk mantan narapidana dan memberi wewenang luas agar ketersediaan pangan terjamin di Mesir, sebelum masa paceklik tiba. Yusuf pun segera bekerja!

Running text di layar kaca swasta, Metro TV, hari Rabu, 16 September 2014 lalu, bergerak dengan kecepatan konstan tanpa jeda, mata ini pun membaca sebuah kalimat, begini tertulis: PBB: 800 juta jiwa kelaparan di dunia.

Sehari sebelumnya, 15 September 2014, Joko Widodo, Presiden terpilih Indonesia  bersama wakilnya, Jusuf Kalla dan tim transisi mereka, mengumumkan di layar kaca, 34 kursi kabinetnya, diantaranya, beliau juga bicara soal prioritas pencapaian kedaulatan pangan.

Sementara itu, sekarang sudah 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Saya pun masih kegerahan terus belakangan ini, mulai dari September tengah lalu sampai sekarang masih musim kemarau. BMKG Indonesia memang sudah mengeluarkan ramalan bahwa puncak kemarau itu bulan Oktober tahun ini. Tak heran, saya kepanasan, bayangkan pernah mencapai 42 derajat celcius! Tanah pun pada kering, petani tentu bersusah hati…

Siang nan terik itu, buku Mustika Rasa terbitan Djakarta 1967, jadi santapan kedua sesudah makan siang. Menarik! Pada halaman romawi IV, tertulis Sambutan  Mentri Koordinator Pertanian dan Agraria, diantaranya dapat dibaca, … Seminar Gizi jang diadakan pada bulan Mei 1964, telah menentukan menu pedoman untuk karbohidrat seorang setahun sebagai berikut:
Beras                 82.1 kg
Djagung            45,6 kg (equivalent beras)
Umbi-umbian 18.3 kg (equivalent beras)
-----------------------------+
           146,0 kg
produksi bahan makanan harus disesuaikan dengan pedoman menu rakjat diatas.

Alinea berikutnya,  dapat dibaca:
Untuk tahun 1965 direntjanakan produksi sebagai berikut:
Padi:           20,50 djuta ton
Djagung:     6,40 djuta ton (pipilan)
Umbi2an: 15,00 djuta ton (umbi basah)

Sekarang? Adakah yang tahu berapa kebutuhan karbohidrat seorang setahun di negeri tanpa telinga –- meminjam judul film sutradara, Lola Amaria -- ini? Dan, berapakah ton padi, jagung pipilan, dan umbi-umbian basah yang perlu dicapai untuk memenuhi mulut-mulut anak negeri yang masih banyak makan nasi aking ini?

Alkisah, Firaun pun bermimpi. Dalam mimpi itu, ia sedang berdiri di tepi Sungai Nil. Tiba-tiba muncullah tujuh sapi gemuk dari dalam sungai dan memakan rumput yang ada di tepi sungai Nil. Lalu, muncul tujuh sapi kurus dan memakan sapi-sapi gemuk itu. Firaun kembali bermimpi. Kali ini, Raja Mesir itu dalam mimpinya melihat tujuh bulir gandum yang kering menelan tujuh bulir gandum yang berisi.
Orang pintar istana pun dikerahkan, untuk menafsirkan mimpi Raja. Namun, tak satu orang pintar istana mampu menafsirkannya. Firaun pun galau. Tak kebetulan, seorang pegawai istana teringat akan Yusuf, seorang tahanan yang piawi menafsirkan mimpi. Atas perintah Raja, Yusuf pun dikeluarkan dari jeruji besi.
Di hadapan Firaun, Yusuf mengatakan bahwa Allah sedang memberi tanda, apa yang akan terjadi di tanah Mesir dalam waktu dekat ini. Ungkap Yusuf, “ tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir gandum yang berisi melambangkan tujuh tahun masa kemakmuran di Mesir. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum kurus melambangkan tujuh tahun masa paceklik, setelah masa kemakmuran.” Yusuf  pun menawarkan jalan keluar kepada Raja untuk memilih seorang yang cerdas dan bijaksana untuk mengatasi masa itu.  Selanjutnya, Firaun menunjuk Yusuf dan memberi wewenang luas atas Mesir agar ketersediaan pangan tetap terjamin di Mesir.
Mendesak dibutuhkan seorang mentri pangan yang bijak dan cerdas di Indonesia!  Berita koran terakhir, setelah terbentuknya Kabinet Kerja, diputuskan Indonesia di masa pemerintahan Jokowi-JK ini adalah Mentri Pertanian. Pak Mentri ini menurut info di koran, akan fokus pada padi, jagung, dan kedelai.


Adalah artikel karya Yonki Karman yang berjudul: Politik Pangan Yusuf,  yang sudah menjejak beberapa tahun lalu, sebab cerita Firaun saya kutipkan kembali, di sini.  Bukankah hari pangan juga baru saja berlalu (16 Oktober)?
Menengok ke belakang sebentar, di Rumah Transisi yang dibentuk Jokowi-JK pun banyak sudah lamaran menjadi mentri mendarat. Padahal tidak ada iklan lowongan kerja untuk itu di koran-koran. Koran Tempo, salah satu koran di tanah air, misalnya, tanggal 4 September  lalu hanya mewartakan artikel berjudul: Alternatif 34 Kursi! Salah satu kursi yang tertera di situ, kursi Kementrian Kedaulatan Pangan.

Tentu, sebuah keniscayaan, Jokowi memilih orang seperti Yusuf di bumi Pertiwi ini.  Yusuf, seorang pemuda biasa bukan dari kalangan istana. Ia bahkan pernah menjadi seorang narapidana yang dipenjara karena kekuatan penguasa (Potifar), padahali tak didapati kesalahan apapun pada Yusuf kala itu. Ia juga tak punya relasi dengan penguasa di Mesir. Bukankah Yusuf itu seorang budak, ketika tiba di Mesir? Namun, dipastikan orang yang mengenal Yusuf akan menyukainya karena karakternya yang elok. Pemuda usia 30 tahunan itu intregritasnya solid, tak bermental pedagang pula. Seorang yang taat dan takut kepada perintah Allahnya.
Pada akhirnya, Firaun memberi wewenang seluasnya atas tanah Mesir kepada Yusuf. Segera, Yusuf pun kerja, kerja, kerja. Yusuf pun membuat kebijakan untuk 7 tahun sebelum masa kelaparan datang. Ia memerintahkan pegawai-pegawai istana mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum rakyat untuk memperkuat stok pangan nasional. Sejarah pun mencatat, Mesir terbebas dari bencana kelaparan.
Empat hari sesudah hari pangan sedunia itu, Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla dilantik secara resmi menjadi orang nomor satu dan orang nomor dua di Indonesia. Selamat berkarya Bapak-Bapak. Semoga karya untuk kedaulatan pangan Indonesia apa pun bentuknya tidak diselenggarakan dengan mental pedagang ya Pak dan Bu Mentri terpilih!

Sitta Manurung (Penulis)
Editing ulang 28102014
Pertama publish 16102014: www.rasamasa.com

Minggu, 28 September 2014

KEMARAU PUN TIBA






Dua puluh hari sudah September hadir. Siang di hari ke 21, terasa terik nian. Bukankah seharusnya musim penghujan? Musim sudah tak berarturan hadir, pertanda apa ini?



Di rumah, arisan pula. Menunya sih sudah pasti go local, hidangan khas suku batak dengan buah pepaya dan salak sebagai  pencuci mulut, usai makan enak. Hadir pula ubi cilembu, kacang kulit, dan biskuit salah satu produk lokal menjadi kawan minum kopi dan teh dari hasil perkebunan bumi pertiwi. Senang memang, apalagi saat peserta arisan yang juga saudara sekampung halaman, berkomentar, sedap nian makan siang hari itu.


Jadi menoleh ke belakang sebentar, kejadian tadi pagi sebelum arisan di mulai. Sempat pergi ke salah satu pasar swalayan besar untuk mencari angin. Angin yang saya maksud, bukan untuk santai sejenak, tapi membeli kipas angin satu lagi! Apa pasal? Panas nian udara pekan itu.


Bukankah ini bulan September dan sebentar lagi Oktober? Masih kuat ingat saya, bahwaseharusnya bulan-bulan yang yang sebut tadi itu musim penghujan, tapi ya kok BMG justru bilang, bulan Oktober puncaknya musim kemarau di Indonesia.  


Kebakaran hutan pun terjadi, kualitas udara Riau, Jambi, Palembang, Palangkaraya, memburuk karena dipenuhi kabut asap. Pencemaran udara menyelimuti sehingga  jadwal penerbangan pun terganggu. ISPA berjangkit, aktifitas sekolah terganggu demikian pula dengan aktifitas kepala keluarga mencari nafkah. Petani paling jelas merasakan akibatnya. Tanah pertanian retak-retak, tanda panas bumi tak tertahankan.


Akibat Kemarau, Petani Bangkalan Berhenti Bertani, Bondowoso Darurat Kekeringan, demikian beberapa judul berita di Koran Tempo, Kamis 18 September 2014.Di Bima, Nusa Tenggara Barat, warga antri air berjam-jam.

Jadi, ini musim kemarau toh?


Musim sudah tak beraturan hadir, pertanda apa ini?


Mustika Rasa, Buka Masakan Indonesia terbitan tahun 1967, mencatat bahwa bulan September – Oktober itu musim buah Srikaya, September – Desember juga musim cempedak, mangga bacang dan mangga. Nah, saat arisan buah salak memang hadir, ini masih sesuai dengan musimnya. Menurut Mustika Rasa, musim salak itu bulan Agustus- September. Sementara, jambu air juga ada di tukang rujak, karena bulannya sama dengan salak. Demikian pula dengan mangga, yang hadir di bulan September sampai Nopember.


Musim sudah tak beraturan hadir, pertanda apa ?


Yuk! Makan secukupnya hasil bumi pertiwi…



Sitta Manurung

Senin, 01 September 2014

Kerupuk#Merdeka



Kerupuk #Merdeka


Lomba makan kerupuk ini memang popular dan selalu saja hadir dalam salah satu lomba menyambut kemerdekaan Indonesia.


Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, saat perayaan agustusan lalu ikut lomba makan kerupuk. Tawa ibu Walikota yang renyah ini, tanpa malu-malu melebarkan mulut untuk meraih sekaligus mengunyah kerupuk putih yang digantung dengan seutas tali. Sungguh pemandangan yang membawa kesegaran perayaan hari merdeka Indonesia kemarin.  Pemimpin dan rakyatnya berbaur satu syukur atas merdekannya negeri dari penjajah.

Lomba makan kerupuk memang popular dan selalu saja hadir dalam salah satu lomba menyambut kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kerupuk akan digantung dengan tali secara berjajar pada sebuah tali panjang sesuai jumlah peserta lomba. Para peserta akan berlomba untuk memakan kerupuk masing-masing, dan pemenangnya adalah peserta yang paling cepat memakan habis kerupuknya. Tantangannya, peserta tidak diperbolehkan menggunakan tangan - dalam memakan kerupuk, hanya boleh menggunakan mulutnya. Seru!

Sebetulnya,  sejak kapan sih lomba yang sudah merakyat ini hadir dalam perayaan 17 Agustusan? Sejarahwan JJ Rizal, pernah mengatakan bahwas tradisi lomba yang kerap menghiasi perayaan HUT Kemerdekaan RI itu muncul pada tahun 1950-an, “ Masyarakat sendiri yang memunculkan lomba-lomba itu sejak perayaan HUT  Kemerdekaan RI yang ke-5. Sebelumnya tidak ada lomba,” ujarnya.
Di Belanda sendiri, memang ada permainan koekhappen. Koekhappen berasal dari kata koek berarti ‘kue’ dan happen berarti ‘menggigit’ (take a bite). Lomba untuk anak-anak menggigit kue yang digantungkan pada seutas tali. Siapa yang pertama berhasil menggigit dan menghabiskan kue akan jadi pemenangnya. Setelah kita merdeka, bisa jadi lomba ini jadi inspirasi, dengan menggantikan kue dengan kerupuk.
Memang sih Indonesia punya 1001 warna dan rupa kerupuk, tidak perlu impor juga. Coba saja mampir ke Sidoarjo, kamu akan jumpa sederetan penjual ragam kerupuk di sana. Makanan pelengkap ini juga dekat di hati kita bukan? Saya jadi teringat seorang teman, yang punya tradisi makan pakai kerupuk. Jangan harapkan dia akan makan nasi dan lauk pauknya tanpa bunyi renyah kriuk..kriuk..kerupuk. Kerupuk memang makanan orang Indonesia, tak peduli kaya atau miskin pasti kebanyakan suka makan bahan kriuk-kriuk ini.

Kalau Gus Mus lewat twitannya  https://twitter.com/gusmusgusmu menuliskan begini:
rasanya baru kemarin
sudah enampuluhsembilan tahun ternyata
dirgahayu indonesia!
belum saatnyakah kita
benar-benar merdeka?

Rasanya untuk kerupuk pertanyaan Gus Mus sudah terjawab, dan pantaslah kalau dia dapat kemeriahaan dan tepuk meriah di hari kemerdekaan negeri tak bertelinga ini (judul film terbaru Lola Amaria). Tidak seperti beras yang makanan pokok anak negeri, boro-boro merdeka malah negeri ini menggantungkan diri pada impor. Belum saatnyakah kita benar-benar merdeka?


Sitta Manurung
Mohon maaf, seharusnya publikasi 28 Agustus lalu, benar lupa benar.